Jakarta: Senyum dianggap sebagai pertanda bahagia. Namun, sebuah studi baru menunjukkan bahasa tubuh tersebut tak selalu bermakna positif.
Studi yang dipimpin oleh ahli bahasa tubuh, Dr. Harry Witchel tersebut melibatkan 44 orang berusia 18-35 tahun untuk mengikuti permainan kuis geografi yang yang terdiri dari sembilan pertanyaan sulit sehingga mereka mendapat jawaban yang salah.
Para peserta harus menjawab pertanyaan di depan komputer, sementara wajah mereka direkam.Setelah kuis, para peserta diminta untuk menilai pengalaman subjektif mereka menggunakan berbagai emosi yang seperti bosan, tertarik dan frustrasi.
Di sisi lain, tim menganalisis ekspresi wajah individu untuk menilai senyum mereka berdasarkan skala antara 0 hingga 1.
Tim kemudian menyimpan emosi yang paling berkaitan dengan ekspresi tersenyum sebagai ikatan daripada kebahagiaan atau frustrasi.
Dan di akhir penelitian, para peserta tidak cenderung tersenyum selama mereka mencoba untuk mencari tahu jawabannya. Namun, mereka tersenyum setelah diberitahukan bagaimana jawaban mereka. Anehnya, terlihat bahwa peserta lebih sering tersenyum ketika jawaban mereka salah.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa dalam eksperimen Interaksi Manusia-Komputer ini, tersenyum tidak didorong oleh kebahagiaan; ini terkait dengan keterlibatan subjektif, yang bertindak seperti bahan bakar sosial untuk tersenyum, bahkan ketika bersosialisasi dengan komputer sendiri," ujar Dr. Witchel.
Menurutnya, perilaku tersenyum saat mengetahui mereka salah lebih disebabkan oleh tingkat keterikatan seseorang, dibandingkan kebahagiaan dan frustasi.
(ELG)
No comments:
Post a Comment